Penggunaan ganja atau mariyuana untuk tujuan medis telah menjadi topik yang semakin banyak dibicarakan dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun ganja sering kali dikaitkan dengan penggunaan rekreasional dan stigma negatif, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki potensi manfaat medis yang signifikan.
Penggunaan ganja (Cannabis sativa) sudah dimulai dari zaman dahulu. Hal ini tertuang dalam kitab-kitab pengobatan dari China, India bahkan pada zaman Mesopotamia. Dalam catatan-catatan tersebut, penggunaan ganja (Cannabis sativa) tidak hanya sebagai obat, namun juga sebagai bahan makanan dan alat ritual. Isu yang popular di Indonesia saat ini adalah mengenai legalisasi ganja.
Apa itu Ganja?
Ganja, yang juga dikenal sebagai mariyuana, memiliki nama ilmiah Cannabis sativa dengan subspesies Cannabis sativa dan Cannabis indica. Tanaman ganja mengandung ratusan senyawa kimia, dengan sekitar 104 cannabinoids yang telah teridentifikasi. Cannabinoids adalah senyawa yang juga dapat diproduksi secara alami oleh tubuh manusia.
Di dalam tubuh, cannabinoids berfungsi sebagai pengatur gerakan, nafsu makan, konsentrasi, sensasi pada indra, dan pengatur rasa sakit. Selain cannabinoids, ganja juga mengandung senyawa lain seperti terpenoid, flavonoid, senyawa nitrogenous, dan molekul-molekul umum tanaman lainnya (American Herbal Pharmacopeia, 2020).
Dalam sejarah pengobatan, penggunaan ganja pertama kali dilaporkan di Rumania sekitar 5000 tahun yang lalu (Pierre-Arnaud Chouvy, 2019). Di Amerika Serikat, ganja mulai digunakan secara luas sebagai obat paten pada awal abad ke-19 dan ke-20. Ganja pertama kali dicatat dalam farmakope Amerika pada tahun 1850. Namun, penggunaan ganja kemudian dibatasi hanya untuk kepentingan pembelajaran dan penelitian (American Herbal Pharmacopeia, 2020).
Mekanisme Kerja Ganja dalam Tubuh
Cannabinoid bekerja dengan berinteraksi dengan sistem endocannabinoid dalam tubuh manusia. Sistem ini terdiri dari reseptor cannabinoid yang tersebar di seluruh tubuh, termasuk otak, sistem saraf, dan sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis reseptor utama, yaitu CB1 dan CB2. Reseptor CB1 terutama ditemukan di otak dan sistem saraf pusat, sementara reseptor CB2 lebih banyak terdapat di sistem kekebalan tubuh.
Zat psikoaktif utama dalam ganja adalah THC. THC berikatan dengan reseptor CB1, menghasilkan efek psikoaktif serta beberapa efek terapeutik, seperti pengurangan rasa sakit dan peningkatan nafsu makan. Struktur kimia THC mirip dengan bahan kimia alami dalam tubuh yang disebut anandamide. Kemiripan ini memungkinkan tubuh untuk mengenali THC dan mengubah komunikasi normal di otak.
Anandamide, serta cannabinoids endogen lainnya, bertindak sebagai neurotransmitter yang mengirim pesan antara sel-sel saraf. Mereka mempengaruhi area-area otak yang terlibat dalam mengatur perasaan senang, pemikiran, konsentrasi, gerakan, koordinasi, sensori, dan persepsi waktu. Kesamaan struktur ini memungkinkan THC untuk menempel pada reseptor cannabinoid dan mengaktifkannya.
Sifat adiktif dari ganja juga terkait dengan peningkatan dopamine di otak. Seperti halnya dengan zat-zat adiktif lainnya, THC dapat merangsang pelepasan dopamine di jalur saraf yang mengontrol motivasi dan sensasi “hadiah”. Lonjakan tinggi dopamine ini dapat “mengajari” otak untuk mengulangi perilaku konsumsi ganja tersebut (Alison C Burggren et al., 2019).
Manfaat Medis Ganja
Penghilang Rasa Sakit
Salah satu penggunaan medis paling terkenal dari ganja adalah sebagai penghilang rasa sakit. Penelitian menunjukkan bahwa ganja dapat efektif dalam mengurangi nyeri kronis yang disebabkan oleh kondisi seperti artritis, multiple sclerosis, dan neuropati. Ganja juga dapat menjadi alternatif yang lebih aman dibandingkan opioid, yang memiliki risiko tinggi untuk kecanduan dan overdosis.
Ganja dapat digunakan dalam pengobatan sebagai pengganti penghilang rasa sakit jenis opioid dan obat-obatan dosis tinggi lain yang berpotensi berbahaya. Istilah “ganja medis” digunakan di beberapa negara di mana dokter meresepkan ganja untuk pengobatan antidepresan, antikejang, antiansietas, dan anti-mual.
Beberapa produk farmasi yang berasal dari ganja telah disetujui oleh badan pengawas obat di beberapa negara. Produk obat yang mengandung ganja mulai banyak tersedia di pasar. Contohnya adalah Epidiolex, yang mengandung kanabidiol dan telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan epilepsi. Nabiximols adalah produk lain yang mengandung ganja dan digunakan sebagai semprotan mulut untuk mengurangi nyeri neuropatik dan gejala sclerosis multipel. Nabiximols telah mendapatkan izin edar di Inggris dan telah tersedia di Jepang, China, dan Afrika sejak tahun 2019 (Bridgeman, M. B. et al., 2017).
Pengobatan Epilepsi Menggunakan Ganja
Ganja tidak hanya digunakan sebagai analgesik tetapi juga sering digunakan dalam pengobatan penyakit-penyakit dengan gangguan neurologis. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Cochrane melakukan empat uji klinis pada 48 pasien epilepsy yang menggunakan CBD sebagai tambahan pengobatan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan CBD tidak menunjukkan efek samping serius yang signifikan (Emily Stockings et al., 2018).
Ekstrak ganja yang dikonsumsi secara oral telah terbukti efektif dalam mengurangi kejang otot pada pasien epilepsy. THC, salah satu senyawa aktif dalam ganja, juga terbukti mengurangi skor kejang otot, meskipun evaluasi terhadap efektivitasnya bervariasi tergantung pada metode pengukuran objektifitas dari kejang otot itu sendiri.
CBD telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan epilepsi, terutama pada anak-anak dengan sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut, yang seringkali tidak merespon terhadap pengobatan konvensional. Produk berbasis CBD seperti Epidiolex telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan kondisi-kondisi ini, menunjukkan bahwa CBD dapat mengurangi frekuensi dan keparahan kejang.
Baca Juga : Perubahan Iklim Bukan Lagi Sebuah “Dongeng”
Mengurangi Gejala Kanker
Ganja juga digunakan untuk mengurangi gejala yang terkait dengan kanker dan pengobatannya, seperti mual, muntah, dan kehilangan nafsu makan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa THC dan CBD dapat membantu mengurangi rasa mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi, serta meningkatkan nafsu makan pada pasien kanker.
Pengobatan Gangguan Mental
Ganja, khususnya CBD, menunjukkan potensi dalam pengobatan berbagai gangguan mental, seperti kecemasan, depresi, dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Penelitian awal menunjukkan bahwa CBD dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan meningkatkan suasana hati, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme dan efektivitasnya.
Manfaat Lain Ganja
Selain manfaat yang telah disebutkan, ganja juga sedang dipelajari untuk potensi manfaat lainnya, termasuk pengobatan penyakit Parkinson, Alzheimer, dan sklerosis multipel. Efek anti-inflamasi dan neuroprotektif dari CBD menunjukkan harapan dalam mengatasi berbagai kondisi neurologis dan neurodegeneratif.
Tantangan dalam Penggunaan Ganja untuk Medis
Regulasi dan Legalitas
Salah satu tantangan terbesar dalam penggunaan ganja untuk medis adalah regulasi dan legalitasnya. Meskipun beberapa negara dan negara bagian di Amerika Serikat telah melegalkan ganja medis, banyak negara lainnya masih melarang penggunaannya. Regulasi yang ketat dan perbedaan hukum ini dapat menghambat penelitian dan akses pasien terhadap pengobatan yang potensial.
Kurangnya Penelitian yang Mendalam
Meskipun ada banyak bukti anekdotal dan penelitian awal yang menjanjikan, masih ada kebutuhan untuk penelitian yang lebih mendalam dan terkontrol secara ketat untuk memahami manfaat dan risiko penggunaan ganja untuk medis. Banyak penelitian yang ada masih dalam tahap awal atau memiliki desain yang kurang kuat, sehingga sulit untuk menarik kesimpulan yang pasti.
Efek Samping dan Risiko Ganja
Seperti obat-obatan lainnya, ganja juga memiliki potensi efek samping dan risiko. Penggunaan ganja yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti gangguan kognitif, kecanduan, dan masalah mental lainnya. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan ganja di bawah pengawasan medis dan dengan dosis yang tepat.
Kualitas dan Konsistensi Produk
Kualitas dan konsistensi produk ganja medis juga menjadi tantangan. Karena ganja adalah produk alami, kandungan cannabinoid dapat bervariasi antara satu tanaman dengan tanaman lainnya. Selain itu, metode ekstraksi dan pemrosesan yang berbeda dapat mempengaruhi kualitas produk akhir. Standarisasi dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan produk yang aman dan efektif.
Akhir Kalam
Penggunaan ganja untuk tujuan medis memiliki potensi besar untuk mengatasi berbagai kondisi kesehatan. Meskipun masih ada banyak tantangan yang perlu diatasi, termasuk regulasi, penelitian yang lebih mendalam, dan masalah kualitas produk, bukti yang ada menunjukkan bahwa ganja dapat menjadi alternatif yang efektif dan aman untuk pengobatan beberapa kondisi kronis dan serius. Dengan pendekatan yang tepat dan penelitian yang terus berlanjut, ganja medis dapat memainkan peran penting dalam dunia kedokteran modern.
Baca Juga : Starlink Indonesia: Review Lengkap Performa dan Cara Set Up
References
Alison C Burggren, et.al., (2019). Cannabis effects on brain structure, function, and cognition: considerations for medical uses of cannabis and its derivatives. Am J Drug Alcohol Abuse
American Herbal Pharmacopeia. (2020). Cannabis Inflorescence Quality Control Monograph. CRC Press.
Bridgeman, M. B., & Abazia, D. T. (2017). Medicinal cannabis: History, pharmacology, and implications for the acute care setting. P & T: A Peer-Reviewed Journal for Formulary Management.
Emily Stockings. et.al., (2018). Evidence for cannabis and cannabinoids for epilepsy: A systematic review of controlled and observational evidence. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry
Pierre-Arnaud Chouvy. (2019). Cannabis cultivation in the world: heritages, trends and challenges. Echogeo