Jika perubahan iklim benar terjadi apakah Bumi yang kita tinggali ini masih bisa dihuni? Pertanyaan ini mungkin sering muncul dikepala kita ketika isu tentang perubahan iklim digaungkan oleh kelompok-kelompok aktivis lingkungan. Pertanyaan yang sama yang juga muncul “Apakah benar tempat tinggal kita akan menjadi dasar lautan?”. Untuk menelaah pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita bahas kenapa “Perubahan Iklim Bukan Lagi Sebuah Dongeng”.
KEY HIGHLIGHTS
- Panas Maut Yang Mengancam
- Kota-Kota Akan Tenggelam
- Kelaparan Terjadi Pada Setiap Orang
- Bencana Tak Lagi Alami
Perubahan iklim memang terjadi tidak secepat yang kita perkirakan. Tidak secepat proses terjadinya awan hingga hujan, tidak secepat naik pesawat terbang dari Jakarta ke Bandung. Karena perubahan iklim itu tidak dapat kita lihat secara langsung bagaimana ia terjadi tetapi kita dapat merasakan bahwa perubahan iklim itu begitu sangat terasa. Lalu apa saja dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim? Serta bagaimana kita menghadapi krisis iklim?
Perubahan iklim merupakan perubahan pola dan intensitas unsur iklim dalam periode waktu yang sangat lama. Perubahan iklim merupakan sesuatu yang terjadi secara natural yang dianggap sebagai reaksi alam, namun perubahan yang dewasa ini sedang terjadi bukanlah merupakan perubahan iklim sebagai fenomena alam yang wajar (natural phenomenon), perubahan iklim yang sedang terjadi sekarang terjadi diakibatkan oleh aktivitas manusia yang berlebihan.
Ditarik dari sisi historis, faktor pemicu yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang masif dimulai dari Revolusi Industri 1.0 tahun 1800-an yang menjadi titik balik dan berdampak besar dimana sosial masyarakat berfungsi secara berbeda dibanding dengan sebelumnya.
Perubahan yang besar dalam segi sosial budaya dan ekonomi mengalami pergeseran (shifting) ditandai dengan terjadinya urbanisasi yang masif dan ditanggalkannya feodalisme yang digantikan dengan munculnya kapitalisme, dimana orang-orang yang mempunyai uang yang cukup bisa memulai bisnisnya sendiri (W.O Henderson).
Tak dapat kita pungkiri bahwa kapitalisme dan penemuan mesin uap (steam engine) pada Revolusi Industri 1.0 memang mendorong pertumbuhan produktivitas dan kegiatan ekonomi dengan amat pesat, orang-orang terdorong untuk melakukan produksi barang secara massal lewat pabrik-pabrik yang dioperasikan dengan menggunakan bahan bakar fossil (fossil fuels) seperti minyak bumi dan batu bara yang menghasilkan gas emisi yang dipompa ke atmosfer bumi dalam jumlah yang sangat banyak yang akhirnya berdampak pada perubahan iklim.
Dampak signifikan yang dirasakan akibat perubahan iklim yang dapat dilihat, dirasakan dan dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara Indonesia sangat banyak, beberapa diantaranya adalah kekeringan berkepanjangan yang terjadi di kurang lebih 100 kabupaten/kota pada musim kemarau tahun 2019 yang mengakibatkan gagal panen besar-besaran yang menyebabkan kerugian (Utami Andhyta).
Musim panas berkepanjangan juga menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tidak terkontrol serta terjadinya naiknya volume air laut disertai dengan turunnya tanah di beberapa pulau, salah satu yang paling parah ada pulau Jawa, bahkan di Jakarta pada tahun 2020 lalu menjadi tahun dimana curah hujan yang terjadi memecahkan rekor dalam 150 tahun terakhir.
Panas Maut Yang Mengancam
Ya, anda benar sekali. Banyak pakar iklim yang mengatakan bahwa tahun 2023 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat sepanjang sejarah. Menurut Climate Change Service (5/7/2023), bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) pada tahun 2023 merupakan musim terpanas yang pernah tercatat secara global dengan suhu rata-rata 16,77ยฐC, sekitar 0,66ยฐC di atas rata-rata musim panas tahun lainnya dan 0,33ยฐC lebih hangat daripada tahun sebelumnya. JJA tahun 2023 juga memecahkan rekor sebagai musim panas yang memiliki suhu permukaan laut tertinggi yang memecahkan rekor global. Semakin panasnya bumi, diduga sebagai tanda adanya perubahan iklim secara global.
Sebagian besar orang berpikir bahwa pemanasan global hanya berdampak pada peningkatan suhu secara global. Namun, kenaikan suhu secara global hanyalah awal dari mulainya malapetaka. Hal ini dikarenakan Bumi adalah suatu sistem di mana semuanya terhubung. Perubahan yang terjadi pada satu system fisis bumi dapat memengaruhi system lainnya, apalagi perubahan pada suhu sebagai parameter yang penting dalam analisis cuaca dan iklim.
Tidak hanya masalah suhu, pemanasan global juga terbukti memunculkan masalah baru seperti kekeringan hebat, kelangkaan dan penurunan kualitas air, maraknya kebakaran hutan, mencairnya sebagian es di kutub sehingga naiknya permukaan laut, bencana alam seperti banjir, dan yang tak kalah penting perubahan pola cuaca seperti meningkatnya intensitas hujan, atau yang lebih dikenal sebagai hujan ekstrem.
Hujan ekstreme yang terjadi selama tahun 2024 telah menyebabkan berbagai bencana banjir hampir diseluruh daerah di Indonesia. Malapetaka ini mengakibatkan kerugian teramat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Jadi, perubahan iklim telah menimbulkan bencana yang diawali dari “Panas Maut” yang terus mengancam.
Kota-Kota Akan Tenggelam
Permukaan laut global telah naik sekitar 8 inci (0,2 meter) sejak pencatatan yang dapat diandalkan dimulai pada tahun 1880. Pada tahun 2100, para ilmuwan memproyeksikan bahwa permukaan laut akan naik setidaknya satu kaki (0,3 meter), tetapi mungkin setinggi 6,6 kaki (2 meter) dalam skenario emisi tinggi. Permukaan laut naik karena penambahan air dari mencairnya es daratan dan pemuaian air laut saat memanas.
Dampak kenaikan tinggi air laut juga nyata terjadi di Indonesia. Dalam periode 1925-1989, tinggi air laut naik 4,38 mm/tahun di Jakarta, 9,27 mm/tahun di Semarang, dan 5,47 mm/tahun di Surabaya. Penelitian Sofian pada tahun 2010 membuktikan bahwa kenaikan tinggi air laut di Indonesia dalam periode 1993-2008 berkisar antara 0,2-0,6 cm per tahun.
Suhu tinggi air laut juga meningkat rata-rata 0.020-0.023ยฐC/tahun. Pada bulan Agustus 2010, di kutub utara telah terlepas bongkahan es (giant ice berg) sebesar Provinsi DKI Jakarta dengan ketebalan sekitar 500 m. Para ahli meyakini bahwa di wilayah kutub setiap hari terjadi erosi gunung es akibat pemanasan global.
Kejadian rob di sekitar Stasiun Kereta Api Tawang Semarang tanggal 28 November 2010 merupakan peristiwa yang terjadi sejak 100 tahun yang lalu. Kejadian ini terus berulang sehingga masyarakat menyebut peristiwa masuknya air laut ke daratan dengan istilah rob.
Selain disebabkan oleh naiknya air laut ke daratan akibat gelombang tinggi, rob juga disebabkan oleh struktur batuan kota Semarang yang masih muda dan terus mengalami penurunan. Akibat kejadian rob ini, lantai rumah di sekitar Stasiun Tawang sudah dinaikkan berulang kali sehingga bila penghuninya berdiri hampir menyentuh plafon rumah. Laju kenaikan tinggi air laut akibat rob mencapai 9,3 mm/tahun.
Kelaparan
Perubahan iklim saat ini menjadi tantangan global dimana variasi iklim berpengatuh besar terhadap masyarakat diseluruh belahan dunia khususnya pada kelompok masyarakat tani.
Apabila krisis bencana alam perubahan iklim tidak dikendalikan, diprediksi pada tahun 2030 variabilitas iklim akan mengancam ketahanan pangan dan kebutuhan air karena pada saat itu populasi dunia sudah meningkatkan kebutuhan pangan lebih dari 50% lebih besar daripada saat ini.
Perubahan iklim yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya gagal panen akibat kekeringan yang panjang dan juga akibat banjir yang terjadi dapat merusak tanaman pangan. Maka berdampak pada produksi pangan mengalami penurunan dan mengancam ketahanan pangan.
Beberapa dampak yang sangat mungkin terjadi pada sektor pertanian akibat perubahan iklim antara lain adanya peningkatan organisme penggangu tanaman atau yang biasa disebut dengan hama. Serangan hama penyakit tentu sangat berisiko terhadap terjadinya gagal panen dan yang lebih mengancam ketika ketahanan pangan terganggu adalah “Kelaparan”.
Bencana Tak Lagi Alami
Bahasa yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bencana sangatlah penting. Daripada menggunakan kata ‘alam’, kita cukup menyebutnya ‘bencana’ atau lebih spesifik lagi, menggambarkan jenis peristiwa cuaca ekstrem (badai tropis, banjir, kekeringan), gempa bumi, tsunami, atau letusan gunung berapi.
Jika kita menerangkan bahwa bencana sebagai sesuatu yang “alami”, maka diasumsikan hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah orang-orang terkena dampak seburuk itu. Mengalihkan tanggung jawab atas kerusakan dan kerugian akibat bencana ke alam atau ke ‘kehendak Tuhan’ berarti membebaskan tanggung jawab manusia terhadap masyarakat yang hidup di kondisi dan lokasi yang rentan.
Kata tersebut menghilangkan konteks sosial, politik, lingkungan, dan ekonomi dari kisah bencana, gagal mengenali ketidakadilan sosial yang ada. Kita seolah menumpangkan kesalahan yang telah dilakukan pada alam. Bahwa sebenarnya bencana bukan lagi disebabkan oleh alam tetapi ulah aktivitas manusia yang berlebihan pada alam.
Bencana yang terjadi akibat krisis iklim juga secara “naif” kita anggap sebagai bencana alam. Perubahan iklim yang secara nyata dan fakta telah terjadi perlu menjadi pemikiran untuk kita bersama bahwa bencana yang terjadi dewasa ini buka semata disebabkan oleh “alam” atau “Kehendak Tuhan”, tetapi krisis iklim telah merubah paradigma tersebut bahwa bencana alam tidak lagi alami.
BACA JUGA : Efek Domino Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
3 Komentar
Pingback: Efek Domino Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
Pingback: Aqmal M Zuki | KKN UNP 2024 | Padang Pariaman
Pingback: Kerusakan Lingkungan Adalah Bentuk Kejahatan Kemanusiaan